Pagi itu kami berbaris dibawah rimbunan pohon-pohon raksasa yang menyelubungi sekolah.
Dibawah masing-masing pohon ini terdapat bundaran semen berlapis tehel, tapi gak sempurna. Bentuknya gak oval. Dibilang kotak malah bakalan digampar. Giliran lu yang bilang segitiga gue yang bakal ngegampar. Intinya lu liat aja sendiri.
Konon, disitulah tempat mejeng favorit buat kunti-kunti yang-beberapa-suka ngegangguin anak baru di Smansa mnurut sumber yg gue dapat. Entah itu Kuntilanak, Kuntimalak, ato Kuntigertak. Semuanya melebur dalam satu kekuatan kunti yang menyeramkan. Buat yang pernah ngalamin, ato lagi dalam proses, lo tau gue lagi bicarain tentang apa.
Gue cuma berharap gak terimbas efek radiasi buah asam tempat gue berteduh yang katanya bisa bikin asem belahan ketek, benarkah?
Parahnya lagi, katanya sih pohon-pohon itu beneran menyimpan cerita masing-masing. Terutama yang ini...
Semua berawal dari adanya anak pindahan baru ke sekolah ini sepuluh tahun yang lalu. Namanya Regina. Dia salah satu cewek tercantik saat itu. Rambutnya coklat disusuin, kulitnya sawo dimatang-matangkan, giginya berbaris rapi tanpa taring, dan senyumnya agak aneh.
Regina adalah siswi pindahan dari Surabaya. Dia dipaksa pindah karena kontrakan rumahnya disana sudah lama tertunggak dan ayahnya sedang menerima proyek sumur bor dimana-mana. Orangnya gak milih-milih dalam berteman. Mau anak pejabat, anak tukang becak, maupun anak tuyul tetap diembat. Gah heran kalau dia jadi idola.
Nah, di dekat jamur itu pernah tumbuh, ada sebuah sumur tua. Dan di samping sumur tua itu, tumbuhlah sebuah pohon asam raksasa (jangan tanya gue kenapa di sana yang ada cuma pohon asam semua). Lebih detailnya yang make kalung ban besi tua karatan bekas lonceng prasejarah. Pohon yang pernah gue kunjungin di hari pertama. Bekas daerah kencing pendagus gue. Pohon itulah yang katanya keramas-maksud gue keramat.
Gue juga bingung kenapa dariawal ceritain tentang Regina dan jamur payung dekat sumur tua nya. Bener-bener jayus.
Sebagai bukan apa-apanya si Regina, gue ngerasa gagal.
* * *
Jadi, dia pohon asam itu katanya bener-bener ada Kuntilanak (secara harfiahnya). Cerita itu mungkin sedikit diragukan, karena beberapa saksi mata bersaksi bahwa mereka melihat bayangan putih sejenis pocong. Atau kalau mereka salah lihat, mungkin bantal jemuran mbak kantin yang ketinggalan.
sekalian promosi, conggg |
Bicara soal pocong, yang paling gue takutin kalo ternyata yang sedang jaga di pohon itu adalah @poconggg. Nggak, bukan karena gue parno ama pocong. Persetan dengan si Parno. Tapi lebih kepada gimana cara gue harus manggilin dia. Kalo gue manggilnya 'conggg', fonemnya bakalan membingungkan pembaca. Iya nggak, conggg? Mereka pasti bakalan bertanya-tanya,"lu lagi manggil pocong ato godain bencong sih?".
Jadi, supaya gue gak dikatain demen ama bencong dan bukunya laris-manis di pasar loak, gue mutusin manggil dia dengan sebutan 'bokonggg'.
Oh iya, apalagi kalo dia nekat terbitin sekuel kedua "poconggg juga pocong", judulnya "poconggg jaga pbokong" dan cerita soal muka gue yang (maaf ya?) gagah. Insyallah, kalo koneksi luas, rajin sholat, dan senantiasa berusaha, bakalan best seller deh bukunya.
Gue sih oke-oke aja, gue masih bisa ngasih tanda tangan ke fans gue. Yah elo? (ngelirik sarkatis ke arah poconggg) Bersyukur aja gak perlu repot-repot nyari cara buat nanda tanganin buku lo nanti, call me trus kasih hak tanah milik Lapangan Karebosi ke pembantu gue dirumah, gue siap.
Back to the topic, maaf ya soalnya sampe sekarang gue masih kesel mikirin gimana bisa seikat sosis gosong bisa nulis novel dan best seller pula. Gila nya lagi gue sampe repot-repot ngebacanya.
Jadi, keliatannya barisan sana cukup lengang.
Barisan manusia tak beradab mulai berkurang, gue pikir mereka mulai sadar setelah kakinya mulai berselaput akibat lompat kodok kemarin.
Akhirnya para pendagus datang, dan awan gelap menyertainya. Kami lalu menerima instruksi baru, tepatnya komando. Dan kali ini benar-benar kejam...
Hening.
Gue diem. Semua siswa saling bertatapan muka. Chila gak kuasa berbicara.
Tiba-tiba...
"ituji kah?", bisik seorang teman gugus gue minta digamparin.
Gue mulai sebel. Beberapa siswa kelihatan marah. Chila bahkan mulai merengek. (nih anak daritadi ngapain sih?)
Oh iya, kalo lo mau tau arti dari kata 'seantero', gue bicara soal bongkahan daun mati yang mulai menyusun sebuah hegemoni yang rapuh di setiap sudut sekolah, badai debu yang membuat face scrub para cewek kayak bedak bayi, dan sarang laba-laba yang penuh kotoran. Mulai dari kumbang kotoran yang tentunya merupakan santapan lezat buat om laba-laba, sampe yang bener-bener kotoran kayak upil yang sangat merusak akal jernih, berimajinasi apakah laba-laba juga mempunyai sistem pembeda rasa di lidahnya? Gue bahkan gak yakin dia punya lidah yang cukup licin untuk mengolah gumpalan terkutuk itu.
Gue bengong.
Chila juga ikut-ikutan bengong. (sumpah, nih anak kan seharusnya ngobatin temen-temennya yang sakit biar bisa main sama-sama lagi, kan?)
Gue menyumpah-nyumpah dalam bahasa yang bahkan nggak gue ngerti. Dan gue bener-bener ngegampar temen gugus gue tadi. Nggak, kali ini nggak ada Chila. Sekali lagi Chila muncul, bakalan gue susuin pake susu nyamuk.
Kenapa? Mungkin lebih keren jika kami mendapat daerah nyapu seperti lapangan basket ato paling nggak kantin lah. Sialnya kali ini, kami bakalan jadi pengurus masjid.
* * *
Gue ingat guru ngaji gue dulu pernah bilang,"setitik debu yang kamu bersihkan dari masjid, akan bernilai seorang bidadari cantik nan jelita di surga nanti", jadi gue sempat berharap. Namun, pernyataan sarkatis itu membuat para santriwati manggut-manggut karena merasa gak adil.
Gue tau apa yang lu pikirin. 'Bidadara' kan?
Jadi, setelah menetralisir sedikit pengertian itu,"setiap daun kering yang gue angkat, buang, gunting, lem, dan mungkin dibakar, akan bernilai satu bidadari cantik yang gue harap bidadari itu mirip dengan orang yang kucintai".
Permintaan yang ekstra serakah, namun setidaknya cukup memberikan motivasi yang bener-bener menggigit untuk meratakan segumpal daun kering yang patah.
Setelah itu, kami kembali ke barisan utama dengan bercucur keringat dan bener-bener berbau asam. Kami duduk, bernapas, lalu diarahkan menuju kelas kami yang baru.
* * *
Gue gak pernah ngebayangin scene ini. Kami terhenyak di tangga sekolah dan menatap (mungkinkah?) sebuah kelas.
Sebuah kelas paling ujung di lantai teratas. Papan kelas berbunyi X-8 mengangguk lesu diterpa angin. Ubinnya menyeramkan, kuno, dan kombinasi catnya parah, merah-abu-abu. Mengingatkan gue pada suasana yang menyenangkan di Kfc. Sayangnya kelas ini benar-benar seperti yang gua bayangin. Berantakan, berdebu, dan berderak. Terutama kebocoran parah yang dialami jendelanya, mungkin dulunya Kenpachi pernah bertarung melwan hollow di kelas ini. Kalau emang tempat ini dulunya bekas Kfc, gue gak bisa bayangin yang berkunjung makan kesini berwujud apa. Mungkin hollow, ato para Shinigami.
Sialnya lagi gue dikelilingi orang-orang diatas normal kewarasan yang secara teminologi adalah teman kelas gue dan fakta bahwa kelas X-8 adalah kelas paling nakal sepanjang sejarah Smansa, setidaknya dalam dua tahun terakhir.
Gue pikir hidup gak bakalan lebih buruk daripada itu, kan? Hingga penanggung jawab dan pendagus mengumumkan ide cemerlangnya soal unjuk bakat...
* * *
Gue sempat berpikir bahwa kotak tertawa itu ada dan bakalan terbakar seperti tipuan Squidward yang membuat Spongebob terlihat menyedihkan. Kira-kira ilustrasi itu cukup menggambarkan keadaan perut kami yang saling melilit akibat tertawa yang berlebihan.
Gugus-gugus lain sungguh menghibur. Mereka dapat mengombinasikan profesionalisme, cool performance, kontrol bola, dan humor dengan baik (gue bilang gitu karena emang penampilan gugus kan macem-macem, gak cuma nyanyi doang dong). Contoh khususnya, Mega yang awalnya gue kira bakalan ngebaca puisi yang romantis, ternyata cuman jadi penari latar doang, anjing, ngerusak imajinasi banget.
Namun, kami gak begitu menikmati penampilan-penampilan gugus selanjutnya dengan tarian erotis gak jelas khas Sm*sh. Lebih gak jelasnya lagi yang joget ternyata segumpal cowok ekstra melar.
Argumen itu mungkin beralasan mengingat akhir dari penampilan itu adalah pintu masuk para penjagal bebek angsa.
* * *
Gue cuma berharap kejadian ini gak disiarkan. Maksud gue, bisa gak lu bayangin Kak Seto bakal ngapain kalo ngeliat tiga puluh anak remaja berjerawat yang menyanyi dan menari potong bebek angsa yang bodoh dengan muka yang bodoh dan diiringi tawa yang bodoh? Dia mungkin bakalan berasumsi gak baek seperti tayangan gak mendidik soal penyuluhan tentang arti kebodohan sesungguhnya.
Kenapa gue yang gagah ini berkata demikian?
Soalnya ada puluhan-lebih wartawan yang menyesaki aula yang dari sononya udah sesak banget malahan. Fajar Tv, TVRI, Gamasi, Fashionworld, National Geographic Channel, dan jangan harap gue mau nyari tau wartawan lainnya.
Semuanya sama, dengan rambut sok dirapikan, kamera di bahu, dan sebuah nota kecil di kantongnya. Melontarkan beberapa pertanyaan menjatuhkan, mengoleksi informasi rahasia, dan berusaha membuat beritanya selalu dinantikan. Semoga aja berita tentang peristiwa barusan di edit dan di format sehingga berjudul "Cuma di Smansa, MOS sambil potong bebek angsa" yang setidaknya kedengaran lebih baik dari kenyataannya.
Untungnya, suara emas sebuah bola raksasa bernama Clara cukup menutupi kemaluan (kata ganti darurat dari rasa malu) gugus kami dengan mengoleksi perhatian dan applause dari penonton.
Setelah semua gugus selesai, para juri masuk ke ruangan isolasi. Memilah-milih pertunjukan yang terbaik dan untungnya mereka gak mempertimbangkan membuat penghargaan gugus terjelek.
Kami gak terlalu mempersoalkan soal pemenang ajang pencarian bakat dadakan itu. Bagi kami, acara berakhir dengan ataupun tanpa penghargaan. Wassalam.
* * *
Hari itu cukup melegakan, gak ada materi sia-sia sama sekali. Hanya selingan games, hiburan tambahan yang banyak memakan korban, dan acara mengerjai terbalik-dimana junior yang mengerjai seniornya-yang membuat para senior menggeram kesal mengingat pesan pak polisi kemarin soal MOS yang damai dan tentram.
Akhirnya setelah istirahat, kami dikumpulkan untuk menghadiri upacara penutupan rangkaian acara Masa Orientasi Siswa yang menyenangkan selama tiga hari itu. Makasih baksonya, pak.
Di meja tampak hadir lengkap semua personil yang membuka acara pada hari pertama. Pak D, Mr. Sunlight, dan the magnificent eight. Diapit oleh kedua puluh pendagus, guru-guru, dan senior yang gak jelas perannya sebagai apa disitu.
Jadi, setelah beberapa sambutan pendek dan doa syukur yang dipanjang-panjangin, kami ratusan anak baru diminta berjejer memanjang seperti ular di aula, gue berdiri paling depan di barisan ketiga dan merasakan atmosfir aliran kebingungan merayapi rantai tangan yang tersambung membentuk barisan panjang dibelakangku.
Para guru, pendagus, dan senior gak jelas itu sepertinya sudah tahu akan hal ini dan tanpa dikomando mereka berbaris memanjang dibawah panggung di hadapan kami.
Pak D kemudian meraih mikrofon dan mengucapkan semacam pemberkatan kepada kami.
Lalu diawali dari gugus terujung, secara bergantian menjabat tangan pak kepala sekolah, para guru, dan senior. Giliran gue sebentar lagi, kuperhatikan Pak D sepertinya menggenggam erat wibawanya dengan memperlakukan semua anak dengan adil, tanpa diskriminasi. Hanya sebuah genggaman erat dan doa. Mr. Sunlight kelihatannya kurang berbahagia, hal itu ditandai sinarnya agak meredup hari ini.
Guru-guru lain bermacam-macam, ada yang menjambak rambut, nyubit pipi, bahkan ada yang terlalu jual mahal hanya dengan anggukan arogan. Untungnya gak ada yang repot-repot nyium pipi.
Inilah saat dimana semua dendam kesumat terbakar habis, wajah-wajah senior yang sangar kini berubah ramah. Dan ketika sampai di barisan the magnificent eight, dihadapan kak ketua Osis (yang belakangan ini gue tau ternyata sepupu lain karungnya Modi), nyali gue menciut, gemetaran, dan takut. Namun, kali ini pemandangan sungguh berbeda, dia merangkul gue dan mengangguk bangga.Seumur hidup gue yang menyedihkan ini gak pernah sekalipun merasa diakui seperti itu. Gue serasa punya kakak laki-laki yang hilang. Kalo saja tempat itu gak disesaki ratusan anak yang saling bersenggolan, gue pasti kelihatan kikuk banget.
Setelah itu, gue dengan pedenya menghampiri senior-senior cowok selanjutnya, kak wakil ketua Osis, para pendagus lain, dan...gue berhenti di hadapan seorang senior cewek.
Kalo senior cowok-cowok ama guru-guru cewek maupun cowok mah gue berani menjabat bahkan (dengan ogah) mencium tangannya. Tapi ini kan cewek, manis lagi.
TAPI INI KAN CEWEK !! C-E-W-E-K !! MANIS LAGI !!
Sengaja diulang biar kelihatan tegang.
Gue ngerasa semuanya jadi gelap, persetan dengan mereka yang berteriak dan mendorongku dari belakang.
Tiba-tiba secercah cahaya datang dan menggapai tangan gue, lalu menjabatnya dan entah darimana keberanian itu datang, gue ambil tangannya dan menciumya seperti yang kulakukan (ingat? dengan ogah) pada senior cowok.
Namun dia mulai tersenyum dan menjambak rambut gue. Gue lega dan kembali pede menghadapi siapapun, mau cewek maupun cowok, walaupun memang sedikit takut menghadapi beberapa senior yang mirip bencong. Kami semua lebur dalam penutupan yang penuh emosi. Salam ribuan tangan.
Inilah acara jabat tangan terbanyak yang pernah gue rasakan, lebih dari ribuan kali jabat tangan saat itu. Tidak heran kalau telapak tangan gue terasa panas dan dingin dan pegal-pegal.
Oh iya, sebagai penutup, selama tiga hari ini gue belum merasakan aura senioritas di Smansa, doakan aja tetep begitu. Amin.<>
Oh iya, sebagai penutup, selama tiga hari ini gue belum merasakan aura senioritas di Smansa, doakan aja tetep begitu. Amin.<>