detik-detik kebakaran *sumber : http://nasional.inilah.com/read/detail/1647062/pasar-sentral-makassar-terbakar |
Kemarin siang, dengan berat hati aku menenteng tiga tas berisi laptop dengan berbagai ukuran dan usia. Mulai dari laptop ukuran batu gunung (unknown mark) jaman bapak saya pertama kali menjadi dosen, laptop compact ukuran sederhana yang sekarat akibat dijerat ribuan virus yang tak terkontrol, sampai laptop vaio mini keluaran baru yang mulai berasap akibat perbuatan adikku.
Siang itu aku menemani bapakku beserta adikku, Amma yang menjengkelkan ke Computer city yah nggak lain buat servis, upgrade, karantina, atau ditimbang *ngelirik laptop ukuran batu gunung*. Dua jam menunggu dan mendengar pembicaraan (atau tepatnya gosip?) tante-tante sales disampingku tentang pasar sentral yang kebakaran. Kasihan juga..
Setelah keluar dari cyborg-lair itu, bapak mengajakku keliling kota dulu. Makan konro bakar karebosi, liat schedule penerbangan ke jakarta, dan nyuci mata di lotte mart (belanja bukan hobi kami).
Tapi mobilku terhenti di sebuah landmark penting di kota Makassar, pusat belanja segala usia, dan dulunya sering kusebut pasar troll seperti dalam serial Hellboy : The Golden Army yang jorok. Pasar Sentral, korban si jago merah yang liar.
Di sudut mata aku memandang puing-puing kayu dan bangunan yang rapuh, gerombolan pedagang (mungkin) yang menurutku sedang berdiskusi tentang 'siapa yang patut disalahkan', dan seorang nenek tua korban (mungkin) yang sedang makan di tempat yang lebih mirip tempat pengungsian korban banjir.
Telingaku menangkap banyak chatroom, yang sedang menangis, menggerutu, atau mungkin menyalahkan? Mataku pedih melihat banyak yang berpelukan, meronta, dan sedikit yang terlihat ikhlas.
Sekedar info, aku salah satu 'orang yang kurang dalam hal menafsirkan emosi' maksudku hal seperti kasihan. Tapi keadaan ini sungguh tragis, jeritan para pedagang, tangisan para anak kuli barang, dan keringat dingin para tukang becak.
Kami tak tinggal lama di tempat itu, bapakku harus pulang sebelum jam lima atau kami berdua kena marah mama ku. Mereka harus menghadiri sebuah pertemuan.
Di perjalanan pulang, suasana mobil begitu hampa. Terdengar sayup-sayup riuh kendaraan diluar, alunan musik country dari mulut penyanyi jalanan, dan cepritan bunti peluit mas ogah. Amma yang biasa cerewet, sok, kurang ajar, dan senang melihat emosiku sekarang diam. Bapakku berkonsentrasi pada kemudi. Dan aku menatap kosong keluar jendela, sebuah gerbang bertuliskan Chinatown yang angkuh.
Banyak cepritan opini dalam otakku, apakah ini benar-benar kebakaran? sebuah ketidaksengajaan para pedagang? aruspendek listrik? puntung rokok?
Dibakar? apakah ini salah satu dari apa yang kusebut 'rantai pemusnahan pasar'? yang telah menimpa pasar butung, tanah abang, dan pasar lain? sebuah sabotase? praktik mafia yang berencana meniadakan tempat kumuh itu? dan membangun gedung-gedung tinggi bernama 'mall'?
Walaupun kesal jika aku diajak mama (tepatnya dijadikan kuli angkat barangnya), bercengkerama dengan cepritan lumpur dan bau ikan yang sangat kubenci, dan menatap muka pedagang yang menurutku licik, dibalik semua itu, aku kasihan.
I hope the tragic scene like now doesn't affect the merchants (how to say 'pedagang?') to try again, and again...